Minggu, 13 Januari 2013

Mungkin


Bayangkan yang akan terjadi
Saat Tuhan pertemukan dua hati

Mungkin 2 pasang mata tak berkedip
Bibir terkatup
Jari jemari menggenggam erat 
Dan jantung seirama berdetak cepat

Hanya berdua, 
menggenapkan cerita 
menjadi nyata.

Mungkin, dear, mungkin.


Rasuna, 14 January 2013

Kamis, 10 Januari 2013

This is it!

11 January 2013

Januari baru saja memasuki hari ke-10 tetapi suara hati masih saja berteriak-teriak membangunkan tidur malam, menyentakkan lamunan sore, menyenggol kantong air mata dan akan terus seperti itu jika aku masih mempertahankan yang sebenar-benarnya bukan milikku. 

Dear, perbincangan semalam hanya menyesakkan ruang hati masing-masing. Membayangkan kamu sendiri melangkah mengejar mimpimu, menahan sakit tanpa 'hadirku' dan tak akan ada lagi omongan ngelantur sebelum tidur saja sudah membuat aku sedih. 

Maaf, semalam aku sudah menyakitimu, 'meninggalkan'-mu dan membebanimu dengan segala ketakutanku. Aku sudah tidak sanggup lagi menyimpan sendiri.

Kamu hadir lengkap dalam 2 tahun-ku, sebagai penulis kebanggaan, teman dan kekasih terindah yg Allah kirim meski hanya dalam impian. 

Aku akan menjadi perempuan kuat dan tidak akan menyandarkan diri pada laki-laki yang akan mendampingiku kelak, sekalipun dia lelaki baik. Persis seperti yang kamu inginkan. 

Tidak ada dadah, Aku hanya meminta keikhlasanmu untuk membiarkan aku mengejar mimpi yang tidak bisa didapat darimu. 


Yang akan selalu mengenangmu,

Nitz




Kamis, 09 Agustus 2012

Aku dan Kamu

Ada banyak angan yang tersampaikan.
Saling berbagi senda dan gurau.
Ada banyak 'kamu' dan 'aku' di tiap pikiran menerawang,
tentang siapa 'aku' dan siapa 'kamu',
tentang di mana 'aku' dan di mana 'kamu',
Semua hal yang menyangkut tentang '-mu' dan tentang '-ku'.

Ketika berbagi mimpi dan angan,
di saat itu realita ditinggalkan.
Diri melebur dalam debar hati yang semakin kencang.
Rintihan logika tak dihiraukan.
Tersimpan dengan baik di sudut ruang hampa.

Rasuna Said
10/08/2012

.

Selasa, 26 Juli 2011

di akhIR


Ah, kisah belum berakhir
itu yang sempat terpikir.
Ribuan kata deras mengalir
namun terhenti di ujung bibir
saat mereka menguak tabir
terhenyak lalu menelan takdir.
Waktunya logika menyetir
sambil kuatkan hati dengan takbir
kali ini yakin berakhir...


Poncol, 26 July 2011

Kamis, 21 Juli 2011

BEN

Ben, the two of us need look no more
We both found what we were looking for
With a friend to call my own
I'll never be alone
And you, my friend, will see
You've got a friend in me
(you've got a friend in me)

Ben, you're always running here and there
You feel you're not wanted anywhere
If you ever look behind
And don't like what you find
There's one thing you should know
You've got a place to go
(you've got a place to go)

I used to say "I" and "me"
Now it's "us", now it's "we"
I used to say "I" and "me"
Now it's "us", now it's "we"
Ben, most people would turn you away
I don't listen to a word they say
They don't see you as I do
I wish they would try to
I'm sure they'd think again
If they had a friend like Ben
(a friend) Like Ben
(like Ben) Like Ben

Kamis, 10 Juni 2010

Andai Biru...

Biru itu indah

Biru itu damai

Biru itu lapang

Biru itu bebas

Biru itu nyaman

Biru penuh semangat

Biru juga sejuk

Biru dicintai dan

Birupun menawan

Membuat siapapun ingin mendekat


Namun Biru tampak beku

Terasa dingin bila disentuh

Ternyata Biru simpan misteri

Dan tak nampak yang mampu menguak


Andai sentuhan dan belaian dapat luluhkan kebekuan

Andai tak ada persinggungan

Andai rintangan tak menghadang dan

Andai akhirnya hati saling bertaut

Tentu Biru bisa diraih

Andai Biru…



20 June 2007
^_^

Selasa, 08 Juni 2010

"DON"

Seperti tersambar petir di sore hari...

Lelahku belumlah sirna, saat kudengar kabar yang mengejutkan di petang yang mulai gelap itu. Kabar yang benar-benar membuatku terhenyak, tak mampu berbicara sepatah katapun.

Teringat kembali puluhan tahun silam,saat aku masih kanak-kanak. Hampir setiap sore, ku habiskan waktu bermain basket di rumah tetangga baruku. Mereka baru saja pindah ke Poncol beberapa bulan. Usia mereka terpaut jauh denganku tapi entah kenapa aku bisa bergaul dengan mereka. Bermain basket berkelompok dengan orang dewasa tentunya sangat membanggakan buatku. Terlihat keren dan hebat. Di saat anak-anak lain sepermainanku masih bermain gundu atau masak-masakan, dengan perasaan bangga, aku berjalan melewati mereka tanpa menoleh sedikitpun dengan membawa bola basket, yang ukurannya tentu saja lebih besar dari kepalaku. Sementara itu, mereka terbengong-bengong melihatku dan hanya bisa menatapku keheranan. Hmm...masa-masa indah itu sukar sekali untuk dilupakan.

Disanalah aku berkenalan dengan Don, begitulah biasanya aku memanggilnya. Tidak bisa kusebutkan nama lengkapnya, karena mungkin ada pihak-pihak yang nantinya terganggu dengan ceritaku ini. Usia Don dan adik laki-lakinya tidak terpaut jauh denganku. Ketika aku sedang asik-asiknya bermain basket dengan ketiga tetanggaku, ada mobil berhenti didepan garasi tetanggaku. Dari dalam sebuah mobil yang menurutku lumayan mewah, keluarlah dua anak laki-laki sambil meneriakkan nama-nama tetanggaku itu. Permainan terhenti, mereka disambut dengan hangat. Adegan itu membekas di hati, ada sedikit rasa kesal karena permainan basket terhenti dan cemburu karena perhatian ketiga tetanggaku beralih pada dua bocah itu. Sementara mereka berkangen-kangenan, aku hanya bisa menonton dari bawah ring basket sambil sesekali mendrible bola. Siapa mereka? dalam hati aku bertanya.

Hampir saja aku meninggalkan halaman rumah itu karena merasa sudah tidak ada gunanya terus berada disitu. Terdengar suara salah satu tetanggaku, Mas Ni, meneriaki namaku. “Dini, mau kemana? Sini dulu, kenalan dong sama sepupu Mas Ni. Sepantaran nih sama kamu. Siniiiii...” Kulihat Mas Ni melambaikan tangannya padaku. Aku melangkah pelan dan mendekat. Kuulurkan tanganku untuk berkenalan. Mereka sebutkan namanya satu persatu sambil acuh tak acuh. Ada sedikit perasaan kesal karena tampaknya kehadiranku di sana sedikit mengganggu mereka, kuputuskan untuk pamit pulang dengan alasan sudah menjelang magrib.

Setelah kejadian itu, hampir setiap minggu kami bertemu. Saling bertegur sapa walaupun tidak bermain bersama karena rupanya ada perasaan cemburu yang terpendam di antara kami. Mereka berkunjung ke rumah itu hanya seminggu sekali,sedangkan aku bisa seenak hati keluar-masuk rumah itu setiap hari, bermain basket sampai puas,dan terkadang jalan-jalan sore sambil naik mobil. Hubungan dengan tetanggaku memang sudah layaknya saudara dekat. Mungkin itu yang membuat dua bocah itu sedikit cemburu padaku dan aku pun juga demikian.

Tujuh tahun pun berlalu begitu saja.

Ketika aku beranjak remaja, istri pemilik rumah mengajakku bekerja paruh waktu di akhir minggu. Bayarannya lumayan besar dan pekerjaanya pun tidaklah berat. Hanya menjadi panitia penukaran nomor dada untuk peserta senam aerobic yang akan mengikuti lomba. Pertama kali ikut, aku dapat upah IDR 50,000 sehari. Untuk anak kelas dua SMA, itu lebih dari cukup. Bahkan uang sakuku sebulan dari orang tua sangat kurang dari itu.

Di minggu ke dua aku bekerja, aku dipertemukan kembali dengan salah satu bocah yang kupanggil Don, setelah sekian lama tidak pernah bertemu. Ada perasaan tidak nyaman saat itu, tapi segera kutepis karena nantinya hanya akan membuat hariku semakin tak karuan. Awalnya tak ada tegur sapa. Kami duduk hanya dipisahkan satu bangku. Aku sok jual mahal. Dalam hati, ku berujar, kalau dia tidak menegur aku dulu,sampai pulang nanti aku akan tetap diam.

Tiba-tiba, kudengar namaku disebut. “Eh, lu Dini ya?”Aku sedikit kaget dengan cara dia menegurku. Hemmm... apa dia lupa aku ya?dalam hati ku bertanya. Lalu ku jawab sekenanya “iya, kenapa?” Dia tersenyum, maniiiiiiiisssss sekali. “Lupa yah sama gw?” Bagaimana bisa lupa, dalam hati ku menjawab.Dia masih tersenyum dan seolah menanti jawabanku. “Nggak lah,lu Don kan?sepupunya Mas Ni?” sahutku agak ketus. “hey, lu masih inget gw...hehehe...” Kemudian mengalirlah pembicaraan yang menyenangkan dengannya. Siang yang panas di Pantai Marina Ancol, tempat lomba aerobic diadakan,menjadi sejuk dengan guyonan-guyonannya dan tawanya yang renyah.

Sepanjang perbincangan kami,aku mulai memperhatikan dia lebih seksama. Ada yang beda dengan Don yang dulu pertama kali aku kenal. Don yang ini jauh lebih ramah dan teman bicara yang menyenangkan. Penampilannya pun beda. Dengan rambut gelombangnya yang panjang sebahu dibiarkan tergerai, berkibar-kibar tertiup angin menutupi sebagian wajahnya. Saat topi berwarna putih dikenakan, sebagian wajahnya tertutup dari paparan sinar matahari yang cukup terik siang itu. Gerakan bibirnya saat berbicara menggemaskan. Bola matanya yang bulat bergerak lincah saat bercerita. Hidungnya yang tinggi dan ramping serta kulitnya yang kuning langsat melengkapi pesonanya. Sikapnya santun dan dia tahu cara melindungi wanita saat berada disisinya. Ku yakin siapapun wanita yang berbicara dengannya akan betah berlama-lama duduk berhadapan.

Don, sekarang bukan lagi bocah yang menjengkelkan dengan sikap acuh-tak-acuhnya. Dia telah berubah menjadi sosok laki-laki yang mampu membius gadis-gadis.

Aku masih ingat jelas, sewaktu kami berdua terpaksa duduk di kursi belakang, berdesak-desakan dengan barang-barang lomba, piala-piala dan segala macam tetek bengek. Kami hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal saat mobil mulai bergerak jalan dan barang-barang itu mulai menghimpit badan kami. Saat itu, istri sang pemilik rumah yang mengajakku ikut lomba yang biasa aku panggil Uwa, menyeletuk iseng “Dini belum punya pacar, Don juga belum, sok atuh kenapa gak pacaran aja?” sedetik kami saling berpandangan dan kemudian tertawa terbahak-bahak dan itu membuat Uwa bingung. “Lho,kenapa malah ketawa?” Kami tidak punya jawaban apapun, tapi aku yakin memang di antara kami tidak ada rasa yang special selain sebagai teman.

Waktupun terus bergulir. Saat aku mulai kuliah meneruskan S-1 ku di UNJ, aku mulai memberikan kursus bahasa Inggris untuk tingkat SD di teras rumah. Tidak hanya untuk mengisi waktu senggangku tapi juga sekalian untuk mempraktekkan teori belajar yang ku dapat dari kampus. Setiap aku mulai mengajar jam 3 sore, aku mulai merasa ada yang memperhatikanku dari warung pamanku yang kebetulan letakknya bersebelahan dengan rumahku. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup tanaman-tanaman gantung di depan teras rumah. Dulu, Pamanku memang membuka warung kelontong dan menjual berbagai macam keperluan rumah tangga meskipun dalam jumlah kecil. Setelah sekian lama, aku masih merasa ada yang terus mengawasiku dari jauh meskipun sebentar, tapi orang itu pasti ada di saat aku mengajar. Iseng kutanyakan pada Bibiku, mengenai siapa orang yang sering datang kewarungnya di saat aku mulai mengajar. Karena Bibiku bukan orang yang gaul di kampungku, dia agak kesulitan menyebutkan namanya. Bibi hanya bilang, dia sering ke warung beli rokok sambil ngeliatin aku ngajar. Pernah laki-laki ini ke warung sore hari, saat aku telah usai mengajar. Dia bertanya ke bibiku, “Dini ada dirumah, Bu?” Bibipun menjawab dengan antusiasnya “Ada tuh di dalam, panggil aja?” Dia hanya tersenyum tipis sambil berujar “Gak usah Bu, cuma mau tanya aja”. Dasar Bibiku yang selalu ingin tahu, dia malah terus bertanya “Maaf, adik ini siapanya Dini yah?” Dia agak kaget juga dengan pertanyaan itu dan akhirnya menjawab “Saya teman kecilnya Dini, Bu.” Bibiku pun tambah penasaran “tinggal di mana yah?” Semakin kewalahanlah laki-laki ini menjawab rentetan pertanyaan Bibiku. “Saya sekarang sedang tinggal di rumah Uwa saya”.

Begitulah informasi yang kudapat dari Bibiku. Dari cerita itu, aku langsung tahu siapa laki-laki misterius itu. Pastilah Don!!

Semenjak itu, aku sudah tidak pernah bertemu dengannya lagi. Mungkin dia sibuk dengan hidupnya. Hanya kadang-kadang saja, tanpa sengaja aku bertemu dengan adik atau Ibunya dan dia suka menitipkan salam untukku. Hemmm... lucu yahh... dulu waktu kami masih kecil-kecil, kami malah tidak bisa dekat, tapi justru sekarang, disaat kami telah beranjak dewasa, ada rasa ingin bertemu walaupun hanya sekedar berbincang kecil.

Kembali pada awal ceritaku, berita yang mengejutkan datang dari Mamah. Dengan pelan-pelan,beliau menyampaikan cerita ini. “Din, temanmu Don sekarang jadi berubah.” Kutegaskan lagi maksud Mamah dengan ‘berubah’. Mamah pun mulai menjelaskan sedikit demi sedikit padaku. “Don sekarang sudah tidak seperti yang dulu kamu kenal. Raganya memang masih ada di dunia ini tapi tidak dengan jiwanya.”

Ya Allah... Jeritku dalam hati. Hatiku serasa tersayat-sayat,sakiiiiiiii
t sekali. Hubungan kami memang tidak dekat layaknya sahabat tapi tetap saja ada rasa iba yang mendalam untuknya. Dia masih muda, masih banyak rencana dalam hidup yang belum bisa terlaksana. Bagaimana dengan masa depannya Ya Allah... saat ini Kau renggut kesadarannya tapi ku yakin ada rencana indah yang telah Kau siapkan untuknya.

Sosok mempesona yang ku kenal dulu sekarang memang telah berubah. Rabu sore lalu, sekelebat kulihat seseorang yang kukenal berjalan lunglai, pelan dan menunduk sambil mulut seperti berkomat-kamit. Tubuhnya kurus kering tak terawat, rambutnya yang panjang sudah tidak lagi ada, wajahnya yang berseri-seri dan menawan telah pucat dan tak bernyawa, tatapan matanya kosong. Sekarang dia hidup dalam dunianya, dunia yang tak bisa kuselami lagi.

Andaikan kesadaranku ini dapat ku bagi untukmu, tentunya akan kulakukan dengan ikhlas Don. Asal, kau bisa kembali seperti Don yang ku kenal dulu, Don yang mampu menyihir wanita dengan pesonamu, Don yang penuh semangat dan Don yang jauh di dalam hati, sangat ku kagumi.


*doaku selalu untukmu Don*


April 2010