Biru itu indah
Biru itu damai
Biru itu lapang
Biru itu bebas
Biru itu nyaman
Biru penuh semangat
Biru juga sejuk
Biru dicintai dan
Birupun menawan
Membuat siapapun ingin mendekat
Namun Biru tampak beku
Terasa dingin bila disentuh
Ternyata Biru simpan misteri
Dan tak nampak yang mampu menguak
Andai sentuhan dan belaian dapat luluhkan kebekuan
Andai tak ada persinggungan
Andai rintangan tak menghadang dan
Andai akhirnya hati saling bertaut
Tentu Biru bisa diraih
Andai Biru…
20 June 2007
^_^
Kamis, 10 Juni 2010
Selasa, 08 Juni 2010
"DON"
Seperti tersambar petir di sore hari...
Lelahku belumlah sirna, saat kudengar kabar yang mengejutkan di petang yang mulai gelap itu. Kabar yang benar-benar membuatku terhenyak, tak mampu berbicara sepatah katapun.
Teringat kembali puluhan tahun silam,saat aku masih kanak-kanak. Hampir setiap sore, ku habiskan waktu bermain basket di rumah tetangga baruku. Mereka baru saja pindah ke Poncol beberapa bulan. Usia mereka terpaut jauh denganku tapi entah kenapa aku bisa bergaul dengan mereka. Bermain basket berkelompok dengan orang dewasa tentunya sangat membanggakan buatku. Terlihat keren dan hebat. Di saat anak-anak lain sepermainanku masih bermain gundu atau masak-masakan, dengan perasaan bangga, aku berjalan melewati mereka tanpa menoleh sedikitpun dengan membawa bola basket, yang ukurannya tentu saja lebih besar dari kepalaku. Sementara itu, mereka terbengong-bengong melihatku dan hanya bisa menatapku keheranan. Hmm...masa-masa indah itu sukar sekali untuk dilupakan.
Disanalah aku berkenalan dengan Don, begitulah biasanya aku memanggilnya. Tidak bisa kusebutkan nama lengkapnya, karena mungkin ada pihak-pihak yang nantinya terganggu dengan ceritaku ini. Usia Don dan adik laki-lakinya tidak terpaut jauh denganku. Ketika aku sedang asik-asiknya bermain basket dengan ketiga tetanggaku, ada mobil berhenti didepan garasi tetanggaku. Dari dalam sebuah mobil yang menurutku lumayan mewah, keluarlah dua anak laki-laki sambil meneriakkan nama-nama tetanggaku itu. Permainan terhenti, mereka disambut dengan hangat. Adegan itu membekas di hati, ada sedikit rasa kesal karena permainan basket terhenti dan cemburu karena perhatian ketiga tetanggaku beralih pada dua bocah itu. Sementara mereka berkangen-kangenan, aku hanya bisa menonton dari bawah ring basket sambil sesekali mendrible bola. Siapa mereka? dalam hati aku bertanya.
Hampir saja aku meninggalkan halaman rumah itu karena merasa sudah tidak ada gunanya terus berada disitu. Terdengar suara salah satu tetanggaku, Mas Ni, meneriaki namaku. “Dini, mau kemana? Sini dulu, kenalan dong sama sepupu Mas Ni. Sepantaran nih sama kamu. Siniiiii...” Kulihat Mas Ni melambaikan tangannya padaku. Aku melangkah pelan dan mendekat. Kuulurkan tanganku untuk berkenalan. Mereka sebutkan namanya satu persatu sambil acuh tak acuh. Ada sedikit perasaan kesal karena tampaknya kehadiranku di sana sedikit mengganggu mereka, kuputuskan untuk pamit pulang dengan alasan sudah menjelang magrib.
Setelah kejadian itu, hampir setiap minggu kami bertemu. Saling bertegur sapa walaupun tidak bermain bersama karena rupanya ada perasaan cemburu yang terpendam di antara kami. Mereka berkunjung ke rumah itu hanya seminggu sekali,sedangkan aku bisa seenak hati keluar-masuk rumah itu setiap hari, bermain basket sampai puas,dan terkadang jalan-jalan sore sambil naik mobil. Hubungan dengan tetanggaku memang sudah layaknya saudara dekat. Mungkin itu yang membuat dua bocah itu sedikit cemburu padaku dan aku pun juga demikian.
Tujuh tahun pun berlalu begitu saja.
Ketika aku beranjak remaja, istri pemilik rumah mengajakku bekerja paruh waktu di akhir minggu. Bayarannya lumayan besar dan pekerjaanya pun tidaklah berat. Hanya menjadi panitia penukaran nomor dada untuk peserta senam aerobic yang akan mengikuti lomba. Pertama kali ikut, aku dapat upah IDR 50,000 sehari. Untuk anak kelas dua SMA, itu lebih dari cukup. Bahkan uang sakuku sebulan dari orang tua sangat kurang dari itu.
Di minggu ke dua aku bekerja, aku dipertemukan kembali dengan salah satu bocah yang kupanggil Don, setelah sekian lama tidak pernah bertemu. Ada perasaan tidak nyaman saat itu, tapi segera kutepis karena nantinya hanya akan membuat hariku semakin tak karuan. Awalnya tak ada tegur sapa. Kami duduk hanya dipisahkan satu bangku. Aku sok jual mahal. Dalam hati, ku berujar, kalau dia tidak menegur aku dulu,sampai pulang nanti aku akan tetap diam.
Tiba-tiba, kudengar namaku disebut. “Eh, lu Dini ya?”Aku sedikit kaget dengan cara dia menegurku. Hemmm... apa dia lupa aku ya?dalam hati ku bertanya. Lalu ku jawab sekenanya “iya, kenapa?” Dia tersenyum, maniiiiiiiisssss sekali. “Lupa yah sama gw?” Bagaimana bisa lupa, dalam hati ku menjawab.Dia masih tersenyum dan seolah menanti jawabanku. “Nggak lah,lu Don kan?sepupunya Mas Ni?” sahutku agak ketus. “hey, lu masih inget gw...hehehe...” Kemudian mengalirlah pembicaraan yang menyenangkan dengannya. Siang yang panas di Pantai Marina Ancol, tempat lomba aerobic diadakan,menjadi sejuk dengan guyonan-guyonannya dan tawanya yang renyah.
Sepanjang perbincangan kami,aku mulai memperhatikan dia lebih seksama. Ada yang beda dengan Don yang dulu pertama kali aku kenal. Don yang ini jauh lebih ramah dan teman bicara yang menyenangkan. Penampilannya pun beda. Dengan rambut gelombangnya yang panjang sebahu dibiarkan tergerai, berkibar-kibar tertiup angin menutupi sebagian wajahnya. Saat topi berwarna putih dikenakan, sebagian wajahnya tertutup dari paparan sinar matahari yang cukup terik siang itu. Gerakan bibirnya saat berbicara menggemaskan. Bola matanya yang bulat bergerak lincah saat bercerita. Hidungnya yang tinggi dan ramping serta kulitnya yang kuning langsat melengkapi pesonanya. Sikapnya santun dan dia tahu cara melindungi wanita saat berada disisinya. Ku yakin siapapun wanita yang berbicara dengannya akan betah berlama-lama duduk berhadapan.
Don, sekarang bukan lagi bocah yang menjengkelkan dengan sikap acuh-tak-acuhnya. Dia telah berubah menjadi sosok laki-laki yang mampu membius gadis-gadis.
Aku masih ingat jelas, sewaktu kami berdua terpaksa duduk di kursi belakang, berdesak-desakan dengan barang-barang lomba, piala-piala dan segala macam tetek bengek. Kami hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal saat mobil mulai bergerak jalan dan barang-barang itu mulai menghimpit badan kami. Saat itu, istri sang pemilik rumah yang mengajakku ikut lomba yang biasa aku panggil Uwa, menyeletuk iseng “Dini belum punya pacar, Don juga belum, sok atuh kenapa gak pacaran aja?” sedetik kami saling berpandangan dan kemudian tertawa terbahak-bahak dan itu membuat Uwa bingung. “Lho,kenapa malah ketawa?” Kami tidak punya jawaban apapun, tapi aku yakin memang di antara kami tidak ada rasa yang special selain sebagai teman.
Waktupun terus bergulir. Saat aku mulai kuliah meneruskan S-1 ku di UNJ, aku mulai memberikan kursus bahasa Inggris untuk tingkat SD di teras rumah. Tidak hanya untuk mengisi waktu senggangku tapi juga sekalian untuk mempraktekkan teori belajar yang ku dapat dari kampus. Setiap aku mulai mengajar jam 3 sore, aku mulai merasa ada yang memperhatikanku dari warung pamanku yang kebetulan letakknya bersebelahan dengan rumahku. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup tanaman-tanaman gantung di depan teras rumah. Dulu, Pamanku memang membuka warung kelontong dan menjual berbagai macam keperluan rumah tangga meskipun dalam jumlah kecil. Setelah sekian lama, aku masih merasa ada yang terus mengawasiku dari jauh meskipun sebentar, tapi orang itu pasti ada di saat aku mengajar. Iseng kutanyakan pada Bibiku, mengenai siapa orang yang sering datang kewarungnya di saat aku mulai mengajar. Karena Bibiku bukan orang yang gaul di kampungku, dia agak kesulitan menyebutkan namanya. Bibi hanya bilang, dia sering ke warung beli rokok sambil ngeliatin aku ngajar. Pernah laki-laki ini ke warung sore hari, saat aku telah usai mengajar. Dia bertanya ke bibiku, “Dini ada dirumah, Bu?” Bibipun menjawab dengan antusiasnya “Ada tuh di dalam, panggil aja?” Dia hanya tersenyum tipis sambil berujar “Gak usah Bu, cuma mau tanya aja”. Dasar Bibiku yang selalu ingin tahu, dia malah terus bertanya “Maaf, adik ini siapanya Dini yah?” Dia agak kaget juga dengan pertanyaan itu dan akhirnya menjawab “Saya teman kecilnya Dini, Bu.” Bibiku pun tambah penasaran “tinggal di mana yah?” Semakin kewalahanlah laki-laki ini menjawab rentetan pertanyaan Bibiku. “Saya sekarang sedang tinggal di rumah Uwa saya”.
Begitulah informasi yang kudapat dari Bibiku. Dari cerita itu, aku langsung tahu siapa laki-laki misterius itu. Pastilah Don!!
Semenjak itu, aku sudah tidak pernah bertemu dengannya lagi. Mungkin dia sibuk dengan hidupnya. Hanya kadang-kadang saja, tanpa sengaja aku bertemu dengan adik atau Ibunya dan dia suka menitipkan salam untukku. Hemmm... lucu yahh... dulu waktu kami masih kecil-kecil, kami malah tidak bisa dekat, tapi justru sekarang, disaat kami telah beranjak dewasa, ada rasa ingin bertemu walaupun hanya sekedar berbincang kecil.
Kembali pada awal ceritaku, berita yang mengejutkan datang dari Mamah. Dengan pelan-pelan,beliau menyampaikan cerita ini. “Din, temanmu Don sekarang jadi berubah.” Kutegaskan lagi maksud Mamah dengan ‘berubah’. Mamah pun mulai menjelaskan sedikit demi sedikit padaku. “Don sekarang sudah tidak seperti yang dulu kamu kenal. Raganya memang masih ada di dunia ini tapi tidak dengan jiwanya.”
Ya Allah... Jeritku dalam hati. Hatiku serasa tersayat-sayat,sakiiiiiiiit sekali. Hubungan kami memang tidak dekat layaknya sahabat tapi tetap saja ada rasa iba yang mendalam untuknya. Dia masih muda, masih banyak rencana dalam hidup yang belum bisa terlaksana. Bagaimana dengan masa depannya Ya Allah... saat ini Kau renggut kesadarannya tapi ku yakin ada rencana indah yang telah Kau siapkan untuknya.
Sosok mempesona yang ku kenal dulu sekarang memang telah berubah. Rabu sore lalu, sekelebat kulihat seseorang yang kukenal berjalan lunglai, pelan dan menunduk sambil mulut seperti berkomat-kamit. Tubuhnya kurus kering tak terawat, rambutnya yang panjang sudah tidak lagi ada, wajahnya yang berseri-seri dan menawan telah pucat dan tak bernyawa, tatapan matanya kosong. Sekarang dia hidup dalam dunianya, dunia yang tak bisa kuselami lagi.
Andaikan kesadaranku ini dapat ku bagi untukmu, tentunya akan kulakukan dengan ikhlas Don. Asal, kau bisa kembali seperti Don yang ku kenal dulu, Don yang mampu menyihir wanita dengan pesonamu, Don yang penuh semangat dan Don yang jauh di dalam hati, sangat ku kagumi.
*doaku selalu untukmu Don*
April 2010
Lelahku belumlah sirna, saat kudengar kabar yang mengejutkan di petang yang mulai gelap itu. Kabar yang benar-benar membuatku terhenyak, tak mampu berbicara sepatah katapun.
Teringat kembali puluhan tahun silam,saat aku masih kanak-kanak. Hampir setiap sore, ku habiskan waktu bermain basket di rumah tetangga baruku. Mereka baru saja pindah ke Poncol beberapa bulan. Usia mereka terpaut jauh denganku tapi entah kenapa aku bisa bergaul dengan mereka. Bermain basket berkelompok dengan orang dewasa tentunya sangat membanggakan buatku. Terlihat keren dan hebat. Di saat anak-anak lain sepermainanku masih bermain gundu atau masak-masakan, dengan perasaan bangga, aku berjalan melewati mereka tanpa menoleh sedikitpun dengan membawa bola basket, yang ukurannya tentu saja lebih besar dari kepalaku. Sementara itu, mereka terbengong-bengong melihatku dan hanya bisa menatapku keheranan. Hmm...masa-masa indah itu sukar sekali untuk dilupakan.
Disanalah aku berkenalan dengan Don, begitulah biasanya aku memanggilnya. Tidak bisa kusebutkan nama lengkapnya, karena mungkin ada pihak-pihak yang nantinya terganggu dengan ceritaku ini. Usia Don dan adik laki-lakinya tidak terpaut jauh denganku. Ketika aku sedang asik-asiknya bermain basket dengan ketiga tetanggaku, ada mobil berhenti didepan garasi tetanggaku. Dari dalam sebuah mobil yang menurutku lumayan mewah, keluarlah dua anak laki-laki sambil meneriakkan nama-nama tetanggaku itu. Permainan terhenti, mereka disambut dengan hangat. Adegan itu membekas di hati, ada sedikit rasa kesal karena permainan basket terhenti dan cemburu karena perhatian ketiga tetanggaku beralih pada dua bocah itu. Sementara mereka berkangen-kangenan, aku hanya bisa menonton dari bawah ring basket sambil sesekali mendrible bola. Siapa mereka? dalam hati aku bertanya.
Hampir saja aku meninggalkan halaman rumah itu karena merasa sudah tidak ada gunanya terus berada disitu. Terdengar suara salah satu tetanggaku, Mas Ni, meneriaki namaku. “Dini, mau kemana? Sini dulu, kenalan dong sama sepupu Mas Ni. Sepantaran nih sama kamu. Siniiiii...” Kulihat Mas Ni melambaikan tangannya padaku. Aku melangkah pelan dan mendekat. Kuulurkan tanganku untuk berkenalan. Mereka sebutkan namanya satu persatu sambil acuh tak acuh. Ada sedikit perasaan kesal karena tampaknya kehadiranku di sana sedikit mengganggu mereka, kuputuskan untuk pamit pulang dengan alasan sudah menjelang magrib.
Setelah kejadian itu, hampir setiap minggu kami bertemu. Saling bertegur sapa walaupun tidak bermain bersama karena rupanya ada perasaan cemburu yang terpendam di antara kami. Mereka berkunjung ke rumah itu hanya seminggu sekali,sedangkan aku bisa seenak hati keluar-masuk rumah itu setiap hari, bermain basket sampai puas,dan terkadang jalan-jalan sore sambil naik mobil. Hubungan dengan tetanggaku memang sudah layaknya saudara dekat. Mungkin itu yang membuat dua bocah itu sedikit cemburu padaku dan aku pun juga demikian.
Tujuh tahun pun berlalu begitu saja.
Ketika aku beranjak remaja, istri pemilik rumah mengajakku bekerja paruh waktu di akhir minggu. Bayarannya lumayan besar dan pekerjaanya pun tidaklah berat. Hanya menjadi panitia penukaran nomor dada untuk peserta senam aerobic yang akan mengikuti lomba. Pertama kali ikut, aku dapat upah IDR 50,000 sehari. Untuk anak kelas dua SMA, itu lebih dari cukup. Bahkan uang sakuku sebulan dari orang tua sangat kurang dari itu.
Di minggu ke dua aku bekerja, aku dipertemukan kembali dengan salah satu bocah yang kupanggil Don, setelah sekian lama tidak pernah bertemu. Ada perasaan tidak nyaman saat itu, tapi segera kutepis karena nantinya hanya akan membuat hariku semakin tak karuan. Awalnya tak ada tegur sapa. Kami duduk hanya dipisahkan satu bangku. Aku sok jual mahal. Dalam hati, ku berujar, kalau dia tidak menegur aku dulu,sampai pulang nanti aku akan tetap diam.
Tiba-tiba, kudengar namaku disebut. “Eh, lu Dini ya?”Aku sedikit kaget dengan cara dia menegurku. Hemmm... apa dia lupa aku ya?dalam hati ku bertanya. Lalu ku jawab sekenanya “iya, kenapa?” Dia tersenyum, maniiiiiiiisssss sekali. “Lupa yah sama gw?” Bagaimana bisa lupa, dalam hati ku menjawab.Dia masih tersenyum dan seolah menanti jawabanku. “Nggak lah,lu Don kan?sepupunya Mas Ni?” sahutku agak ketus. “hey, lu masih inget gw...hehehe...” Kemudian mengalirlah pembicaraan yang menyenangkan dengannya. Siang yang panas di Pantai Marina Ancol, tempat lomba aerobic diadakan,menjadi sejuk dengan guyonan-guyonannya dan tawanya yang renyah.
Sepanjang perbincangan kami,aku mulai memperhatikan dia lebih seksama. Ada yang beda dengan Don yang dulu pertama kali aku kenal. Don yang ini jauh lebih ramah dan teman bicara yang menyenangkan. Penampilannya pun beda. Dengan rambut gelombangnya yang panjang sebahu dibiarkan tergerai, berkibar-kibar tertiup angin menutupi sebagian wajahnya. Saat topi berwarna putih dikenakan, sebagian wajahnya tertutup dari paparan sinar matahari yang cukup terik siang itu. Gerakan bibirnya saat berbicara menggemaskan. Bola matanya yang bulat bergerak lincah saat bercerita. Hidungnya yang tinggi dan ramping serta kulitnya yang kuning langsat melengkapi pesonanya. Sikapnya santun dan dia tahu cara melindungi wanita saat berada disisinya. Ku yakin siapapun wanita yang berbicara dengannya akan betah berlama-lama duduk berhadapan.
Don, sekarang bukan lagi bocah yang menjengkelkan dengan sikap acuh-tak-acuhnya. Dia telah berubah menjadi sosok laki-laki yang mampu membius gadis-gadis.
Aku masih ingat jelas, sewaktu kami berdua terpaksa duduk di kursi belakang, berdesak-desakan dengan barang-barang lomba, piala-piala dan segala macam tetek bengek. Kami hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal saat mobil mulai bergerak jalan dan barang-barang itu mulai menghimpit badan kami. Saat itu, istri sang pemilik rumah yang mengajakku ikut lomba yang biasa aku panggil Uwa, menyeletuk iseng “Dini belum punya pacar, Don juga belum, sok atuh kenapa gak pacaran aja?” sedetik kami saling berpandangan dan kemudian tertawa terbahak-bahak dan itu membuat Uwa bingung. “Lho,kenapa malah ketawa?” Kami tidak punya jawaban apapun, tapi aku yakin memang di antara kami tidak ada rasa yang special selain sebagai teman.
Waktupun terus bergulir. Saat aku mulai kuliah meneruskan S-1 ku di UNJ, aku mulai memberikan kursus bahasa Inggris untuk tingkat SD di teras rumah. Tidak hanya untuk mengisi waktu senggangku tapi juga sekalian untuk mempraktekkan teori belajar yang ku dapat dari kampus. Setiap aku mulai mengajar jam 3 sore, aku mulai merasa ada yang memperhatikanku dari warung pamanku yang kebetulan letakknya bersebelahan dengan rumahku. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup tanaman-tanaman gantung di depan teras rumah. Dulu, Pamanku memang membuka warung kelontong dan menjual berbagai macam keperluan rumah tangga meskipun dalam jumlah kecil. Setelah sekian lama, aku masih merasa ada yang terus mengawasiku dari jauh meskipun sebentar, tapi orang itu pasti ada di saat aku mengajar. Iseng kutanyakan pada Bibiku, mengenai siapa orang yang sering datang kewarungnya di saat aku mulai mengajar. Karena Bibiku bukan orang yang gaul di kampungku, dia agak kesulitan menyebutkan namanya. Bibi hanya bilang, dia sering ke warung beli rokok sambil ngeliatin aku ngajar. Pernah laki-laki ini ke warung sore hari, saat aku telah usai mengajar. Dia bertanya ke bibiku, “Dini ada dirumah, Bu?” Bibipun menjawab dengan antusiasnya “Ada tuh di dalam, panggil aja?” Dia hanya tersenyum tipis sambil berujar “Gak usah Bu, cuma mau tanya aja”. Dasar Bibiku yang selalu ingin tahu, dia malah terus bertanya “Maaf, adik ini siapanya Dini yah?” Dia agak kaget juga dengan pertanyaan itu dan akhirnya menjawab “Saya teman kecilnya Dini, Bu.” Bibiku pun tambah penasaran “tinggal di mana yah?” Semakin kewalahanlah laki-laki ini menjawab rentetan pertanyaan Bibiku. “Saya sekarang sedang tinggal di rumah Uwa saya”.
Begitulah informasi yang kudapat dari Bibiku. Dari cerita itu, aku langsung tahu siapa laki-laki misterius itu. Pastilah Don!!
Semenjak itu, aku sudah tidak pernah bertemu dengannya lagi. Mungkin dia sibuk dengan hidupnya. Hanya kadang-kadang saja, tanpa sengaja aku bertemu dengan adik atau Ibunya dan dia suka menitipkan salam untukku. Hemmm... lucu yahh... dulu waktu kami masih kecil-kecil, kami malah tidak bisa dekat, tapi justru sekarang, disaat kami telah beranjak dewasa, ada rasa ingin bertemu walaupun hanya sekedar berbincang kecil.
Kembali pada awal ceritaku, berita yang mengejutkan datang dari Mamah. Dengan pelan-pelan,beliau menyampaikan cerita ini. “Din, temanmu Don sekarang jadi berubah.” Kutegaskan lagi maksud Mamah dengan ‘berubah’. Mamah pun mulai menjelaskan sedikit demi sedikit padaku. “Don sekarang sudah tidak seperti yang dulu kamu kenal. Raganya memang masih ada di dunia ini tapi tidak dengan jiwanya.”
Ya Allah... Jeritku dalam hati. Hatiku serasa tersayat-sayat,sakiiiiiiii
Sosok mempesona yang ku kenal dulu sekarang memang telah berubah. Rabu sore lalu, sekelebat kulihat seseorang yang kukenal berjalan lunglai, pelan dan menunduk sambil mulut seperti berkomat-kamit. Tubuhnya kurus kering tak terawat, rambutnya yang panjang sudah tidak lagi ada, wajahnya yang berseri-seri dan menawan telah pucat dan tak bernyawa, tatapan matanya kosong. Sekarang dia hidup dalam dunianya, dunia yang tak bisa kuselami lagi.
Andaikan kesadaranku ini dapat ku bagi untukmu, tentunya akan kulakukan dengan ikhlas Don. Asal, kau bisa kembali seperti Don yang ku kenal dulu, Don yang mampu menyihir wanita dengan pesonamu, Don yang penuh semangat dan Don yang jauh di dalam hati, sangat ku kagumi.
*doaku selalu untukmu Don*
April 2010
Jumat, 04 Juni 2010
DULANG*
Dulu, waktu adikku yang bontot masih SMA, ada satu hal yang mengusik hatiku. Mamah selalu menyuapi Ade kalo dia gak doyan makan. Waktu itu aku sempat protes, “Mah, Ade dah gede kok masih disuapin? Kapan dewasannya kalo masih diperlakukan seperti anak kecil” Jawaban yang kudapat hanya senyum kecil dari Mamah .Aku hanya bisa menebak-nebak arti dari senyumnya... Itu terjadi sekitar 9 tahun yang lalu.
Saat ini, aku baru tersadar dan mendapatkan jawaban dari pertanyaanku selama ini. Sejak empat bulan yang lalu ada kebiasaan baru yang Mamah lakukan. Sama persis seperti caranya terhadap Ade, menyuapi aku sarapan pagi.
Karena jam kerjaku berbeda dari teman2 lainnya, aku harus bangun lebih awal dari mereka. Jam 4.20 a.m harus sudah bangun dan siap2 ke kantor. Waktu yg kupunya pun sangat singkat, tak jarang aku abaikan sarapan pagiku yang mengakibatkan penyakit maagku sering kumat. Ternyata kebiasaan jelekku ini diamati Mamah.
Tadinya ku kerjakan semuanya sendiri di pagi hari, mulai dari masak air,menyiapkan teh tuk Bapak dan Mamah, sampai keperluan pribadiku. Biasanya Mamah bangun setelah jam 5 tapi sejak empat bulan belakangan ini, semuanya berubah. Mamah bangun lebih pagi dari aku. Saat aku bangun, yang berhubungan dengan sarapan pagi sudah tersedia. Secangkir teh manis dan lauk pauk tuk teman sarapan. Awalnya aku kaget dengan perlakuannya yang menurutku berlebihan. Tapi mulut seperti terkunci rapat. Hingga akhirnya aku beranikan diri tuk bertanya saat Mamah mulai menyuapiku. “Mah, gak usah disuapin. Dini bisa sendiri kok” tapi jawabannya “Gak apa-apa. Sekalian, kamu dandan sambil sarapan. Kalo gak begini kamu bisa-bisa gak sarapan. Malah nanti sakit.”
Aaahhhhh.... ini bukan jawaban yang aku mau. Pasti ada hal lainnya. Ku pancing lagi dengan pertanyaan lain. “Mah, kenapa udah setua ini baru dini disuapin lagi?” jawabannya membuat air mataku menggenang dan dada sedikit sesak. “Karena saat ini Mamah merasa kamu perlu banyak doa dan perhatian dari Mamah” Semakin aku penasaran, semakin banyak pertanyaan yg meluncur dari mulutku “Maksudnya Mah?” dan Mamah pun menjawab “Setiap suapan ini terselip doa untuk kamu.” Agak kaget juga mendengarnya karena setahuku Mamah kalo berdoa setelah sholat sudah cukup lama, apa masih kurang? ada nada protes di pertanyaanku berikutnya “Tapi kenapa Mamah gak begitu ke yang lainnya?” Jawabannya membuat aku terpaku beberapa detik. “Seorang ibu akan tahu kebutuhan setiap anak karena kalian pernah ada di bawah jantung Mamah. Kapan kalian butuh perhatian lebih, kapan kalian butuh suapan ini, kapan kalian butuh belaian tangan Mamah dikepala kalian, kapan kalian butuh tempat untuk bersandar dibahu Mamah disaat kalian gelisah, kapan kalian butuh pelukan hangat dari Mamah, kapan kalian butuh tempat tuk mengeluarkan unek2 kalian dan lain2nya”
Percakapan singkat di pagi itu pun terputus karena semuanya sudah terjawab.
Sepanjang perjalanan ke kantor pagi itu,aku terus berpikir. Ternyata Mamah tahu saat ini aku memang sangat membutuhkannya lebih dari biasanya setelah beberapa peristiwa yg harus aku hadapi belakangan ini. Mulutku tidak pernah meminta,tapi hati kami saling berhubungan karena ikatan bathin antara anak dan ibu itu sangat kuat.
Mamah mungkin bukan sosok ibu yang sempurna di mata orang lain, tapi bagiku dilahirkan dari rahimnya merupakan anugrah terindah yang pertama kali aku dapat dari Allah SWT.
Teringat kalimat2 yang berulang kali dan tak bosan-bosannya Mamah ucapkan. “Sampai kapanpun, sehebat apapun kalian kelak, kalian tetap anak2 Mamah dan Bapak. Mulut kalian tidak bisa lebih dari kami. Susah senang kalian juga susah senangnya kami. Kami tidak menuntut apapun dari kalian kecuali tetap menjaga cinta kasih diantara kalian dan pasangan hidup kalian kelak. Selesaikan masalah diantara kalian dengan kepala dingin hingga tidak ada lagi ganjalan di hati yang bisa menjadi bom waktu suatu hari nanti. Semua anak2 Mamah dan Bapak punya hak yang sama. Kalian diberi kebebasan tuk mengeluarkan pendapat tapi dengan cara yang baik dan waktu yang tepat. Tahukah kalian yang bisa membuat kami bangga dan bahagia sebagai orang tua? Bukan karena kekayaan,kehebatan ataupun keberhasilan kalian tapi dengan melihat kalian rukun,saling mencintai, tolong-menolong,berbagi, menghargai, menerima dan mengerti kekurangan masing-masing.”
Pheeeewwwww..... berat Mah, tapi Insya Allah kami bisa melaksanakannya karena bibit cinta yang sudah Mamah dan Bapak tanam dan pupuk sudah tumbuh dengan baik di hati kami.
Poncol, 27 March 2010
*dulang berasal dari bahasa Jawa Tengah yang artinya suap*
Saat ini, aku baru tersadar dan mendapatkan jawaban dari pertanyaanku selama ini. Sejak empat bulan yang lalu ada kebiasaan baru yang Mamah lakukan. Sama persis seperti caranya terhadap Ade, menyuapi aku sarapan pagi.
Karena jam kerjaku berbeda dari teman2 lainnya, aku harus bangun lebih awal dari mereka. Jam 4.20 a.m harus sudah bangun dan siap2 ke kantor. Waktu yg kupunya pun sangat singkat, tak jarang aku abaikan sarapan pagiku yang mengakibatkan penyakit maagku sering kumat. Ternyata kebiasaan jelekku ini diamati Mamah.
Tadinya ku kerjakan semuanya sendiri di pagi hari, mulai dari masak air,menyiapkan teh tuk Bapak dan Mamah, sampai keperluan pribadiku. Biasanya Mamah bangun setelah jam 5 tapi sejak empat bulan belakangan ini, semuanya berubah. Mamah bangun lebih pagi dari aku. Saat aku bangun, yang berhubungan dengan sarapan pagi sudah tersedia. Secangkir teh manis dan lauk pauk tuk teman sarapan. Awalnya aku kaget dengan perlakuannya yang menurutku berlebihan. Tapi mulut seperti terkunci rapat. Hingga akhirnya aku beranikan diri tuk bertanya saat Mamah mulai menyuapiku. “Mah, gak usah disuapin. Dini bisa sendiri kok” tapi jawabannya “Gak apa-apa. Sekalian, kamu dandan sambil sarapan. Kalo gak begini kamu bisa-bisa gak sarapan. Malah nanti sakit.”
Aaahhhhh.... ini bukan jawaban yang aku mau. Pasti ada hal lainnya. Ku pancing lagi dengan pertanyaan lain. “Mah, kenapa udah setua ini baru dini disuapin lagi?” jawabannya membuat air mataku menggenang dan dada sedikit sesak. “Karena saat ini Mamah merasa kamu perlu banyak doa dan perhatian dari Mamah” Semakin aku penasaran, semakin banyak pertanyaan yg meluncur dari mulutku “Maksudnya Mah?” dan Mamah pun menjawab “Setiap suapan ini terselip doa untuk kamu.” Agak kaget juga mendengarnya karena setahuku Mamah kalo berdoa setelah sholat sudah cukup lama, apa masih kurang? ada nada protes di pertanyaanku berikutnya “Tapi kenapa Mamah gak begitu ke yang lainnya?” Jawabannya membuat aku terpaku beberapa detik. “Seorang ibu akan tahu kebutuhan setiap anak karena kalian pernah ada di bawah jantung Mamah. Kapan kalian butuh perhatian lebih, kapan kalian butuh suapan ini, kapan kalian butuh belaian tangan Mamah dikepala kalian, kapan kalian butuh tempat untuk bersandar dibahu Mamah disaat kalian gelisah, kapan kalian butuh pelukan hangat dari Mamah, kapan kalian butuh tempat tuk mengeluarkan unek2 kalian dan lain2nya”
Percakapan singkat di pagi itu pun terputus karena semuanya sudah terjawab.
Sepanjang perjalanan ke kantor pagi itu,aku terus berpikir. Ternyata Mamah tahu saat ini aku memang sangat membutuhkannya lebih dari biasanya setelah beberapa peristiwa yg harus aku hadapi belakangan ini. Mulutku tidak pernah meminta,tapi hati kami saling berhubungan karena ikatan bathin antara anak dan ibu itu sangat kuat.
Mamah mungkin bukan sosok ibu yang sempurna di mata orang lain, tapi bagiku dilahirkan dari rahimnya merupakan anugrah terindah yang pertama kali aku dapat dari Allah SWT.
Teringat kalimat2 yang berulang kali dan tak bosan-bosannya Mamah ucapkan. “Sampai kapanpun, sehebat apapun kalian kelak, kalian tetap anak2 Mamah dan Bapak. Mulut kalian tidak bisa lebih dari kami. Susah senang kalian juga susah senangnya kami. Kami tidak menuntut apapun dari kalian kecuali tetap menjaga cinta kasih diantara kalian dan pasangan hidup kalian kelak. Selesaikan masalah diantara kalian dengan kepala dingin hingga tidak ada lagi ganjalan di hati yang bisa menjadi bom waktu suatu hari nanti. Semua anak2 Mamah dan Bapak punya hak yang sama. Kalian diberi kebebasan tuk mengeluarkan pendapat tapi dengan cara yang baik dan waktu yang tepat. Tahukah kalian yang bisa membuat kami bangga dan bahagia sebagai orang tua? Bukan karena kekayaan,kehebatan ataupun keberhasilan kalian tapi dengan melihat kalian rukun,saling mencintai, tolong-menolong,berbagi, menghargai, menerima dan mengerti kekurangan masing-masing.”
Pheeeewwwww..... berat Mah, tapi Insya Allah kami bisa melaksanakannya karena bibit cinta yang sudah Mamah dan Bapak tanam dan pupuk sudah tumbuh dengan baik di hati kami.
Poncol, 27 March 2010
*dulang berasal dari bahasa Jawa Tengah yang artinya suap*
Langganan:
Postingan (Atom)